SERAT WEDHATAMA
(Karya :  KGPAA. Mangkunegara IV)
alih bahasa : Y. Isyana Dewa

PUPUH I

TEMBANG P A N G K U R

01

Mingkar-mingkuring angkara, akarana karenan mardi siwi, sinawung resmining kidung, sinuba sinukarta, mrih kretarta pakartining ilmu luhung,kang tumrap ing tanah Jawa, agama ageming aji.

Menghnidarkan diri dari nafsu serakah, karena ingin mendidik anak, terangkum dalam indahnya nyanyian, dihias penuh warna, agar dihayati intisari ilmu luhur, yang diterapkan di tanah Jawa/Nusantara, agama (adalah) pakaian kehidupan diri.

 

 Catatan Pengalihbahasa : pada versi lain, kalimat pertama ada yg berbuny"Mingkar-mingkuring UKARA"Bila demikian, maka terjemahannya menjad"Mengolah dan membolak-balik kalimat, karena ingin mendidik anak, ....dst)Melihat keterkaitannya dengan kalimat sesudahnya, nampaknya justru kata UKARA yang benar).

02

Jinejer ing Wedhatama, mrih tan kemba kembenganing pambudi, mangka nadyan tuwa pikun, yen tan mikani rasa, yekti sepi sepa lir sepah asamun, samasane pakumpulan, gonyak-ganyuk nglelingsemi.

Disusun dalam Wedatama, agar tak mengurangi pemahaman hati, padahal meski tua dan pikun/pelupa, bila tak menggunakan rasa, sungguh kosong dan hambar bak ampas buangan, kala dalam perjamuan, salah tingkah memalukan.

03

Nggugu karsane priyangga, nora nganggo peparah lamun angling, lumuh ingaran balilu, uger guru aleman, nanging janma ingkang wus waspadeng semu, sinamun samudana, sesadoning adu manis .

Menuruti kemauan sendiri, tanpa arah dalam bertuturkata, tak mau dikatakan bodoh, sibuk memburu pujian, namun manusia yang telah tahu gelagat, malah merendahkan diri, menanggapi semuanya dengan baik.

04

Si pengung nora nglegewa, sangsayarda denira cacariwis, ngandhar-andhar angendukur, kandhane nora kaprah, saya elok alangka longkangipun, si wasis waskitha ngalah, ngalingi marang sipingging.

Si Dungu tak menyadari, kian menjadi dalam membual, kian tinggi bicaranya, ucapannya tak terarah, kian menyombongkan diri, si bijak mengalah, menutupi ulah si Dungu.

05

Mangkono ilmu kang nyata, sanyatane mung we reseping ati,bungah ingaran cubluk, sukeng tyas yen den ina, nora kaya si punggung anggung gumunggung, ugungan sadina dina, aja mangkono wong urip.

Demikianlah ilmu yang benar, sejatinya hanya menyenangkan hati, suka dianggap bodoh, bergembira bila dihina, tak seperti Si Dungu yang mabuk pujian, ingin dikagumi tiap hari, jangan seperti itu manusia hidup.

06

Uripe sapisan rusak, nora mulur nalare ting saluwir, kadi ta guwa kang sirung,  sinerang ing maruta, gumarenggeng anggereng anggung gumrunggung, pindha padhane si mudha, prandene paksa kumaki.

Hidup sekali berantakan, nalarnya tak berkembang tercabik-cabik, seperti gua gelap yang angker, diterjang angin, bergemuruh bergema tanpa makna, seperti itulah anak muda kurang ilmu, namun sangat angkuh.

07

Kikisane mung sapala, palayune ngendelken yayah wibi, bangkit tur bangsaning luhur, lah iya ingkang rama, balik sira sarawungan bae durung, mring atining tata krama, nggon-anggon agama suci.

Tekadnya hanya kecil,  segalanya mengandalkan orang-tua, tak mau kalah dan selalu harus di atas, yang luhur karena (golongan) bangsawan, memang karena sang ayah, sedangkan enkau bergaul saja belum, terhadap intinya etika pergaulan, yang ada dalam agama suci.

08

Socaning jiwangganira, jer katara lamun pocapan pasthi, lumuh asor kudu unggul, sumengah sesongaran,yen mangkono kena ingaran katungkul, karem ing reh kaprawiran, nora enak iku kaki.

Sebenarnya kepribadianmu, pasti terlihat saat berbicara, harus unggul tak mau kalah, tinggi hati dan merendahkan, bila begitu bisa disebut terpikat, senang dalam hal kesombongan, tak bagus itu Nak.

09

Kekerane ngelmu karang, kakarangan saking bangsaning gaib, iku boreh paminipun, tan rumasuk ing jasad, amung aneng sajabaning daging kulup, Yen kapengkok pancabaya, ubayane mbalenjani.

Dalam ilmu sihir, rekaan dari hal-hal ghaib, itu ibarat bedak, tak merasuk ke badan, hanya di luar daging Nak, bila terbentur  marabahaya, tak dapat diandalkan.

10

Marma ing sabisa-bisa, babasane muriha tyas basuki, puruitaa kang patut, lan traping angganira, Ana uga angger ugering kaprabun, abon aboning panembah, kang kambah ing siang ratri.

Oleh karenanya sebisa mungkin, berusahalah agar hati tenteram, berguru secara bagus, dan laksanakan dalam dirimu, ada juga aturan dalam tata negara, yang jadi ketentuan (dalam) mengabdi, yang digunakan siang malam.

11

Iku kaki takokena, marang para sarjana kang martapi, mring tapaking tepa tulus, kawawa nahen hawa, Wruhanira mungguh sanyataning ngelmu, tan mesthi neng janma wreda, tuwin muda sudra kaki.

(Hal) itu tanyakan Nak, kepada para cerdik cendekia yang mendalami, dengan sungguh-sungguh, sekuat tenaga menahan diri, yang kau ketahui sejatinya ilmu, tak tentu dikuasai orang tua, atau muda serta miskin Nak.

 

12

Sapantuk wahyuning Allah, gya dumilah mangulah ngelmu bangkit, bangkit mikat reh mangukut, kukutaning Jiwangga, Yen mangkono kena sinebut wong sepuh, liring sepuh sepi hawa, awas roroning ngatunggil.

Orang yang mendapat anugerah Allah, lalu mengolah serta paham ilmu hidup, hidup benar dalam arti sesungguhnya,  kesempurnaan hidup pribadi, bila demikian dapat disebut orang bijak, yang tak dikuasai hawa nafsu, awas tentang dua hal berpasangan (baik-buruk, bahagia-sengsara).

13

Tan samar pamoring Sukma, sinukma ya winahya ing ngasepi, sinimpen telenging kalbu, Pambukaning warana, tarlen saking liyep layaping ngaluyup, pindha pesating supena, sumusuping rasa jati.

Sangat jelas tanda-tanda Allah, dirasakan pada saat sepi, disimpan dalam lubuk hati terdalam. Pembuka tabir itu, tak lain dari keadaan (diri) antara sadar dan tak sadar, bagai  melesatnya mimpi, hadirnya rasa yang sejati.

14

Sajatine kang mangkono, wus kakenan nugrahaning Hyang Widi, bali alaming ngasuwung, tan karem karamean, ingkang sipat wisesa winisesa wus, mulih mula mulanira, mulane wong anom sami.

Sebenarnya yang demikian itu, telah mendapat anugerah Tuhan, kembali ke alam 'kosong', tak tergoda duniawi, yang bersifat kuasa-menguasai sudah, kembali kepada asal muasal. Oleh karena itu (hai) para kawula muda.

ana candake....

(bersambung ke Bagian 2)

***Dikutip dari catataBapak Isyana Dewa di Catatan Facebooknya*** 
 
Picture
Alkisah di sebuah Jagad Wayang, terdapatlah sebuah Negara Kerajaan yang tersohor di seluruh penjuru Negeri.... Sebuah Negara yang terkenal akan 'GEMA RIPAH LOH JINAWE' nya, sebuah Negara Super Subur, dan Super Kaya (seharusnya). AstinaPura nama Negara yang seharusnya Makmur itu.

Sebuah Negara yang dipimpin oleh seorang Raja yang berpenampilan santun, berwajah bundar, dengan perutnya yang membuncit.... Prabu Duryodana lah namanya, seorang Prabu yang seharusnya bukanlah pewaris tahta sah dari AstinaPura. Adapun penerus Tahta AstinaPura ini seharusnya adalah Prabu Puntadewa sulung dari Pandawa yang tak lain dan tak bukan adalah sepupu nya sendiri.

Sebuah perencanaan sangat matang telah disusun oleh Kabinet Kurawa sang Duryodana, sebuah tipu muslihat diatur guna merebut Tahta itu dari para Pandawa, akal licik disusun dengan sangat licik oleh Patih kesayangan Kurawa yakni Patih Arya Sengkuni, bahkan konon Money Politics dilakukan untuk mendukung rencana si Sengkuni, oleh salah satu kolega terbaik Prabu Duryodana. Seorang Pengusaha Sukses yang sukses dalam berbagai hal termasuk menggelapkan uang Astina, tersebutlah Pak Cakil sang Pengusaha yang bersangkutan.

Pak Cakil tercatat sebagai salah satu dari beberapa orang terkaya di Jagad Marcapada ini, saking kayanya sampai – sampai jajaran gigi Cakilnya dipoles dengan kilauan emas lantakan, sehingga waktu meringis dalam jarak berapa pun bisa dikenali lah kalo itu Pak Cakil dengan rahangnya yang menjorok ke depan itu.

Bukan rahasia Pewayangan lagi, kalo Pak Cakil terkenal suka main kotor, melalui sejumlah uang yang ia miliki, ia membeli kekuasaan Astina secara terselubung, jangankan si Bapak Cakil.... Perusahaan Keluarganya yang dinamakan BUTO Group pun, telah membuat susah banyak orang. Dia dengan lihainya, berhasil membuat Para Patih, dan Penasihat AstinaPura cekot – cekot kepalanya, lantaran Pak Cakil menolak membayar pajak yang ditunggak oleh BUTO Group nya....

Selain itu dengan serakahnya, BUTO Group melakukan penambangan Permata secara gila – gilaan.... Nyaris menembus Kahyangan Saptapretala (Kahyangan para Ular, dan Naga), ia membuat sebuah sumur dalam yang dinamakan Sumur Jalatunda. Saking dalamnya sumur itu, sampai – sampai sumur itu menembus perut bumi, dan memuntahkan lahar panas yang merendam sebagian pemukiman penduduk.


Picture
Penduduk Wayang gerah dengan kelakuan itu, mereka menuntut ganti rugi harta maupun moral atas segala kerugian yang luar biasa mengerikan itu, sekali lagi dia memanfaatkan koneksinya.... Ia mendekati Prabu Duryodana, dan mendesak sang Prabu agar kejadian itu ditetapkan sebagai Bencana Alam bukan kelalaian dari BUTO Group, bahkan ia mendesak salah satu Patih Urusan Duit, dan Bendahara Kerajaan Astina; Ibu Srikandi agar mengucurkan dana baginya, dan menghapus tanggungan Pajak BUTO Group.

Ibu Srikandi berang, dia menolak usulan dari Pak Cakil yang didasari oleh Ego Pribadi, dan Kelompoknya itu, hati Pak Cakil dipenuhi dendam. Sekali lagi dengan segepok uang yang ia miliki, ia berusaha untuk menggoncang kedudukan sang Patih Urusan Duit, dan Bendahara Kerajaan Astina. Ibu Srikandi diseret ke Pengadilan Astina atas tuduhan penggelapan uang dengan kambing hitam Koperasi Canthing.

Prabu Duryodana pusing tujuh keliling, karena plot sempurna yang diatur Pak Cakil, sampai – sampai ia juga menyeret sang Wakil alias Tuwangga Kerajaan yang bernama Pandhita Drona ke dalam masalah ini. Suara Lontar Astina telah dibeli, Lontar Astina dengan lantang menuding Ibu Srikandi menjadi dalang penyebab kekacauan, dan penggelapan uang Koperasi Canthing yang tidak jelas juntrungannya.

Ibu Srikandi merasa sangat kesal akan kelicikan Pak Cakil, bahkan dengan licinnya Pak Cakil berhasil mencuci otak sebagian Patih, dan seluruh Kurawa. Mereka satu suara, dan sepakat untuk memojokkan Ibu Srikandi di jajaran Kepatihan Kurawa.

Di lain tempat Bathara Guru tampak berunding seru dengan Bathara Panyarikan, Bathara Mahadewa, Bathara Narada, dan beberapa Bathara lainnya di Kahyangan Jonggring Saloka. Mereka memperdebatkan perihal isi Kitab Jitapsara yang memuat aturan perang, dan jajaran pejuang kelak dalam perang besar Bharatayudha. Kejujuran, dan sifat Ksatria Ibu Srikandi menarik minat Bathara Guru. Atas perintah Bathara Guru, Bathara Panyarikan disuruh untuk menulis bahwa Srinkandi harus direkrut di Pihak Pandawa, untuk kemudian di perang tandingkan dengan MahaPatih Kurawa yang juga Kakek Pandawa-Kurawa yakni Resi Bhisma.

Semuanya disepakati, untuk perekrutan itu, Bathara Guru menulis surat perekrutan Srikandi khusus kepada Prabu Duryodono. Bathara Narada menyampaikan surat itu kepada Prabu Duryodono. Seketika jadi lemaslah lutut sang Prabu membaca surat tertanda dari Bathara Guru, dengan berat hati diikuti dengan gengsi yang menyundul Jonggring Saloka ia menyerahkan hak atas Srikandi kepada Pandawa.

Srikandi menerima surat itu, walaupun dengan berat hati karena dia masih ingin mengabdi di Rezim Kurawa tanpa pamrih, pada akhirnya ia meninggalkan rezim Kurawa yang telah membuangnya bak tebu (habis manis, sepah dilepeh). Ia maju melangkah meninggalkan Astina tanpa menoleh, sambil bersiap untuk menyongsong masa depan baru penuh dengan harapan bersama Pandawa....

Kepergian Srikandi, membuat Pak Cakil senang bukan kepalang.... Untuk merayakan 'Kemenangannya' itu, ia mengadakan pesta perkawinan Putra Bungsunya Cakil Junior dengan salah satu Dewi Kahyangan, pesta perkawinan yang konon bernilai ribuan Keping Emas itu dimeriahkan dengan panggung joged (secara spesial, mereka mengundang Penari – penari Gandarwa dari Istana Setrogondomayit), dan acara minum tuak till drop. Dengan entengnya, dia memerintahkan para Patih, dan Kurawa untuk menghentikan penyelidikan kasus Koperasi Canthing, dan Pandhita Drona sang Tuwangga Astina dibebaskan dari kasus tersebut. (ck.... ck.... ck..... jadi bingung.... Siapa yang Prabu yah kalo gini....)

Belum cukup sampai disitu, Cakil dengan mulusnya melaju naik menjadi Pemimpin Geng KEKAR (KElompok mungKAR) yang berlambangkan Pohon Bonsai itu. Ia berhasil menggeser beberapa kandidat Pemimpin Geng itu dengan mudahnya. Belum cukup sampai disitu, ia dengan kelicikannya berhasil mempengaruhi Prabu Duryodono untuk mengangkatnya sebagai Ketua Geng Koalisi (Konon kedudukannya hampir setara dengan Sang Prabu sendiri), sebuah Geng Koalisi yang didalamnya banyak terdapat Geng – Geng yang beranggotakan Bromocorah – Bromocorah loyalis Cakil.

Semua telah diatur Cakil dengan mulusnya, dan dengan liciknya.... Semua tampak sempurna, tidak ada batu sandungan sekecil apapun yang berhasil menyandung langkah Cakil.... Semuanya sangat mudah bagi Cakil.... Karena Cakil telah 'membeli' AstinaPura.... BUTO Group nya bahkan telah membeli kebebasan penduduk Astina..... Cakil lebih daripada Sang Prabu Duryodono.... Tidak ada Kerajaan AstinaPura.... Yang ada hanyalah 'REPUBLIK CAKIL'

Oleh:
Erwin Poedjiono Tirtosari

Ditulis tanggal 20 Agustus 2010, dan dipublikasiken di Boekoe - Wadjah tanggal 21 August 2010

Dikoetip dari toelisan saia sendiri di Boekoe-Wadjah milik saia: https://www.facebook.com/notes/rwin-poedjiono-tirtosari/prahara-astina-republik-cakil/425325648425

 
Picture
Dikisahkan,Prabu Duryodona mengundang segenap jajaran Patih nya utk mengadakan Rapat Tertutup. Hadirlah disana Patih kesayangan Sang Prabu-Patih Arya Sengkuni,Tuwangga Sang Prabu-Pandhita Drona,dan bbrp jajaran Kabinet Kurawa. MahaPatih Astina yakni Resi Bhisma menolak utk hadir dalam Rapat Tertutup itu.

Adipati Karna yg menjadi Senapati Astina jg tdk hadir krn alasan masuk angin dan tidak enak badan. Dalam rapat itu dibahas bagaimana Prabu Duryodono dibuat ketakutan akan masa jabatannya yg mendekati masa berakhir bbrp warsa lg. Prabu Duryodono merasa sayang utk menyerahkan singgasana empuk itu kepada Puntadewa,sulung Pandawa yg merupakan pewaris sah dari tahta yg dulu direbutnya dlm tipu muslihat rancangan Sengkuni,dan Money Politics sumbangan dari Cakil.

Prabu Duryodono merasa dia masih belum siap utk turun dari tahtanya, apalagi sang Istri: Dewi Banowati dirasa blm siap utk melanjutkan tahtanya, walaupun Dewi Banowati telah merilis 2 buku tulisan tangannya sendiri.

Menatap Putranya Lesmana Mandrakumara,ia sedikit pesimis sekalipun putranya diwawancara eksklusif oleh harian Lontar Astina,tapi Lesmana gagal mendapatkan Wahyu Cakraningrat yg justru berhasil didapat oleh Abimanyu Putra Janaka,salah satu Pandawa.

Karena merasa semuanya masih belum siap,dan merasa sayang utk meninggalkan tahta yg telah membuat perutnya kian menebal, ia mengutus Bilung utk menyuarakan woro-woro Kurawa yg menyatakan bahwa: "Prabu Duryodono layak utk menduduki tahta Raja lbh dari 2 Periode,kalo bisa sekalian sampai Prabu Duryodono seda..."

Dilaksanakanlah mandat dari Sang Prabu tercinta itu. Bilung Duta,demikian mandat yg diterimanya. Bilung selama ini memang dikenal suka cari perkara,suka bikin ribut,dan selalu bicara ngawur sekena udelnya. Sengkuni tahu betul tabiat si Bilung yg amburadul,dan semrawut dlm bicara itu,krn itu ia menyuruh Prabu Duryudono utk mengutus Bilung berkoar-koar di luar Istana... Toh ujung-ujungnya yg kena damprat pasti si Bilung...

Kalo Rakyat 'Tidak Setuju',Bilung lah yg bakal jadi sasaran caci maki Rakyat... Kalo Rakyat 'Setuju',yah Syukur.... Demikianlah pikir Sengkuni,yg langsung di Amini oleh Sang Prabu...

Bilung yg terlalu setia pada Kurawa segera memberitakan woro-woro itu di Pasar... Di Alun-Alun... Di Pendapa... Semua tempat,rata oleh air ludah Bilung... Hingga fotonya,plus opini Bilung sempat mewarnai halaman depan media Lontar Astina... Benar saja,perkataan Bilung mengundang opini negatif dari Masyarakat,mereka secara serempak mencaci Bilung,dan mereka seperti sudah bosan... Dgn cepat mereka bisa mengetahui,kalo ini semua pasti pesanan para Kurawa yg menolak turun dari tahta Astina...

Dengan berlagak,Sang Prabu marah... Dia mengutus Dursasana utk memberikan peringatan bagi Bilung...

Bilung bingung... Bilung bengong... Yg dia lakukan hanya perintah... Itu Bilung Duta... Lah dalah... Rakyat Mencaci,Kurawa mendamprat... Apa ini nasib Bilung... Jadi Corong,Jadi Duta,Jadi Sasaran Caci Maki,sekaligus jadi Kambing Hitam.... Oalah.... Bilung....

Oleh:
Erwin Poedjiono Tirtosari

Ditulis tanggal 19 Agustus 2010, dan dipublikasiken di Boekoe - Wadjah tanggal 20 August 2010


Dikoetip dari toelisan saia sendiri di Boekoe-Wadjah milik saia:http://www.facebook.com/notes/rwin-poedjiono-tirtosari/prahara-astina-bilung-duta/424794908425

 
Picture
AstinaPura dibikin heboh,segenap penduduk AstinaPura berang,lantaran 3 Senapati Terbaik AstinaPura (di bawah pimpinan Adipati Karna) yg bertugas di perbatasan wilayan Astina-GoaBarong ditangkap paksa oleh Pasukan Raksasa GoaBarong...

Selentingan yg beredar di media Lontar Astina menyebutkan bahwa 3 Senapati itu memergoki ada 7 org Maling Ayam yg menyusup ke Perbatasan Astina,dan maling sejumlah ekor ayam di Perbatasan Astina. Lantaran geram dgn ulah 7 org Maling Ayam dari Negeri Tetangga itu,mrk berniat utk menangkap 7 org Maling Ayam yg telah melanggar batas wilayah lagi nyolong ayam...

Pada saat mau menangkap 7 Org Maling itulah,dtg sekelompok Prajurit Diraja GoaBarong yg mengacungkan kerisnya,dan mengancam keselamatan 3 Senapati Astina.

Mereka menangkap 3 Senapati Astina yg sedang bertugas itu dgn paksa dgn dalih 3 Senapati melanggar Hukum (????)

Tersebutlah amarah membara,dan nasionalisme membuncah di dada penduduk AstinaPura... Mereka sangat marah,dan merasa terhina,mereka berkata; "Ini sudah cukup!!! Mau brp kali lagi Negeri GoaBarong pimpinan Prabu JataGempol menginjak2 Martabat Negeri AstinaPura!!!"

Semakin kian terhinalah mereka,karena ditangkapnya 3 Senapati Astina itu bertepatan dgn hari Peringatan Selamatan Rajasuya yg ke 65. Amarah mereka dgn jelas terwakili oleh Resi Bhisma salah satu MahaPatih AstinaPura yg tidak terima dan ingin melakukan aksi nyata utk memprotes Negara GoaBarong.


Picture
Prabu Duryodono yg berwajah bundar,dan berperut buncit sampai pusing dibuatnya,dia sangat ingin marah, tetapi dia jg sangat ketakutan akan kesaktian Prabu JataGempol. Maka diadakanlah Rapat Luar Biasa utk membahas masalah tsb,tahu bahwa 'ketakutan'nya tdk akan pernah didukung oleh Resi Bhisma,ia menolak utk mengundang Resi Bhisma.

Sebuah kesepakatan dibuat,Prabu Duryodono mengambil sebuah pemecahan yg menurutnya 'Diplomasi yg Santun',lantaran pemecahan itu kurang memuaskan. Adipati Karna selaku pemimpin,dan pengayom 3 Senapati itu,merasa kecewa luar biasa,ia memilih utk walk out.

Tidak banyaknya dukungan dari para Jajaran Patih,Senapati,dan Adipati,tidak membuat Prabu Duryodono patah arang. Melalui Patih Urusan Negara Tetangga nya Ki Lurah Togog,ia menyatakan siap menukar 7 Orang Maling Ayam itu dgn 3 Senapati terbaik AstinaPura... Itulah jawaban sang Prabu,panutan segenap AstinaPura... Sebuah jwban ciut nyali yg dibungkus dlm judul yg menarik 'Diplomasi yg Santun'...

Segenap rakyat AstinaPura menangis sambil memukuli dadanya... Mereka berkata; "Dur Jagad Dewa Bathara... Penghinaan apalagi yg harus Negara ini tanggung... Seandainya Sri Bathara Kresna,dan Pandawa yg memimpin Astina... Mereka pasti tidak akan tinggal diam,n siap Bela Pati utk Astina..."

Jadi apa AstinaPura ini nantinya....


_Oleh:
Erwin Poedjiono Tirtosari

Ditulis tanggal 17 Agustus 2010, dan dipublikasiken di Boekoe - Wadjah tanggal 20 August 2010


Dikoetip dari toelisan saia sendiri di Boekoe-Wadjah milik saia:http://www.facebook.com/notes/rwin-poedjiono-tirtosari/prahara-astina-3-senapati-dan-7-maling-ayam/424756388425


 
Picture
Surabaya - Ketika saya duduk di sudut sebuah Cafe tjap Duyung,saya mencoba mengamati sekitar...
Saya sangat suka untuk mengamati setiap orang yang saya temui,saya banyak mengamati orang lalu lalang dan duduk di dalam Cafe ini...
Entah kenapa, hal paling menarik yang membuat saya terpaku adalah: entah mengapa, nyaris setiap orang yang saya temui tampak begitu terpaku pada sesosok benda berbentuk persegi, dan berwarna hitam yang sepertinya kini telah menjadi bagian dari pop-kultural masyarakat kita...

Sebuah benda persegi dgn berbagai merk dagang,benda yang lazim disebut Smart Phone atau Qwerty Phone... Sebuah benda yang seolah menjadi perangkat wajib setiap individu,bukan hanya mereka bahkan tangan kanan saya tampak menggenggam erat-erat benda persegi ini...Saya berusaha untuk merefleksikan benda persegi ini melalui pikiran saya, saya berpikir...
"Hmmmm... Smart phone yang hanya sebesar genggaman tangan ini,mampu membius setiap pemakainya untuk terpaku pada layar perseginya..."

Saya tidak akan membahas orang untuk menjadikan objek pemikiran saya,karena saya sendiri tampak begitu larut pada benda ini. Saya sadari, saya begitu terpaku pada benda ini,setiap saat... Setiap detik... Saya selalu merindukan dentingan kecil yang berbunyi di 'Benda Persegi' saya ini... Terkadang saya berpikir kita sebagai individu memilih untuk meng 'gila' kan diri kita dengan tertawa sendiri menatap layar si Smart Phone,sedih sendiri tanpa alasan, bahkan tidak jarang kita marah-marah sendiri menatap layar persegi yang kecil itu...

Wow... Itu sangat luar biasa karena sebuah benda kecil ternyata mampu membantu kita untuk mengkomunikasikan emosi kita... Tapi apakah betul itu yang terbaik? Mengingat manusia adalah makhluk sosial,yang wajib dan harus bertemu individu lainnya untuk dapat sekedar meluapkan emosi, berbicara, dan bercanda secara nyata, langsung, face to face dan tanpa 'kurir'...

Setiap orang termasuk saya, seolah-olah merasa dunia berhenti berputar, n jungkir balik,ketika fitur Internetnya di 'rebut' paksa dari kita, dan kita dipaksa 'puasa' Online oleh provider yg 'X'tra 'L'emot... Dunia diciptakan untuk berputar untuk menjaga keseimbangan... Dunia kita berjalan mengikuti rotasi Bumi, dan waktu... Sebuah benda persegi tidak akan menghentikan dunia kita, dan menjungkirbalikkan dunia kita...

Suatu bentuk Ketergantungan kah atau Kebutuhan kita kah untuk selalu Online?
Kenyataannya 2 hari tanpa akses, Dunia saya masih ttp berputar, dan tampak indah ketika saya memilih untuk menyimpan si persegi di saku saya, dan menjalani hari tanpa terpaku pada layarnya.

"Jalannya Dunia bukan tergantung pada Objek,tapi tergantung pada Individu yg seharusnya memanfaatkan Objek itu dgn bijak, dan bukan dimanfaatkan oleh Objek"


Have a Blessings Day O:)



-Erwin Poedjiono Tirtosari-


Dikoetip dari toelisan saia sendiri di Boekoe-Wadjah milik saia: http://www.facebook.com/notes/rwin-poedjiono-tirtosari/dunia-jungkir-balik-tanpa-internet/10150105020883426

 
Picture
_Surabaya– Tidak banyak orang yang mengenal nama dari Boedi Capoenk, bahkan mereka tidak pernah tahu kalau karya – karya dari Boedi Capoenk telah menghiasi dan menjadi koleksi dari sejumlah pengusaha ternama Indonesia, Kolektor lukisan Papan Atas, dan telah banyak dipamerkan di banyak eksibisi tingkat atas.Lukisan Pak Boedi lebih banyak terkonsentrasi pada objek binatang, terutama unggas, karena kecintaannya terhadap unggas. Selain banyak menghasilkan banyak lukisan dengan tema binatang, tidak jarang Pak Boedi juga menghasilkan lukisan dengan tema kebudayaan Tiongkok, seperti salah satu karyanya yang terpajang di rumahnya.

Karyanya itu adalah gambar dari 8 Dewa (sebuah mitologi tentang Dewa dari negeri Tiongkok), yang diceritakan sedang melakukan perjalanan melintasi lautan secara bersamaan, sebuah lukisan yang sulit rasanya untuk dipercaya kalau lukisan itu adalah karya buah tangan pelukis asli Indonesia.

Sambil tersenyum Pak Boedi berkata dengan lugas: “Mungkin orang akan kebingungan melihat lukisan bertema kan Tiongkok, tetapi bisa dikerjakan dengan tidak kalah bagusnya oleh orang Pribumi Indonesia”.

“Saya mencintai segala macam budaya, terlebih Budaya Jawa, dan Budaya Tiongkok… Saya sangat mengagumi kearifan dua budaya itu, dan kedua budaya itu sarat makna dan filosofi yang tinggi”, sambungnya sambil tersenyum puas menatap lukisannya itu.

Sayapun hanya mampu berdecak kagum menatap lukisannya yang sangat luar biasa itu. Hingga mata saya tertuju pada sebuah lambang yang dibubuhkan oleh Pak Boedi pada setiap karyanya. Selain memuat tanda tangan, dan stempel nama yang diadaptasi dari stempel nama China kuno. Pak Boedi selalu menambahkan gambar capung di atas namanya.

Gambar Capung yang selalu dibubuhkan diatas lukisannya inilah yang mendasari Pak Boedi dikenal dengan sebutan Boedi Capoenk. Ada makna dibalik gambar Capung itu, ia bercerita bahwa semenjak kecil sangat kagum terhadap serangga ini. Dirinya kerap menjadikan capung sebagai bahan bermain dan mencari inspirasi, dengan cara diikat dengan menggunakan serat batang pisang yang diikatkan ke lidi, dan diikatkan ke perut sang Capung.

Baginya kegiatan sederhana ini adalah kegiatan yang digunakannya dalam mencari hiburan, dan mengisi kekosongan waktunya dalam mencari inspirasi.

“Seni itu sudah menjadi nafas, dan kehidupan saya… Saya betul – betul susah hidup tanpa seni, dan tidak bisa hidup tanpa seni”, katanya disertai tawa.

Ia bahkan menambahkan, berkat seni dia mampu menyekolahkan anak – anaknya hingga ke jenjang sarjana. Ketika saya menanyakan berapa harga yang dipatok untuk setiap lukisan hasil karya Pak Boedi. Dengan tersenyum dia hanya berkata, kalau harga minimal untuk lukisannya diatas media kanvas kecil senilai Rp. 30 juta, dan untuk lukisan dengan media kanvas besar minimal  Rp. 50 juta.

Pak Boedi mengaku tidak pernah mematok harga sedemikian tinggi, karena harga lukisannya justru ditentukan oleh para penikmat seni sendiri. Dan harga itulah yang dipatok oleh para penikmat seni untuk karya Pak Boedi.

Pria yang masih aktif melukis ini masih memiliki mimpi besar untuk membangun sebuah padepokan seni di rumahnya. Sebuah padepokan yang bertujuan untuk menampung para seniman muda yang tidak memiliki tempat untuk belajar, dan berkarya. Dan sebuah tempat yang ditujukan untuk mendidik bakat – bakat seni baru di dunia seni.

Dikoetip dari toelisan saia sendiri di Boekoe-Wadjah milik saia:http://www.facebook.com/note.php?note_id=10150167223798426