SERAT WEDHATAMA
(Karya :  KGPAA. Mangkunegara IV)
alih bahasa : Y. Isyana Dewa

PUPUH I

TEMBANG P A N G K U R

01

Mingkar-mingkuring angkara, akarana karenan mardi siwi, sinawung resmining kidung, sinuba sinukarta, mrih kretarta pakartining ilmu luhung,kang tumrap ing tanah Jawa, agama ageming aji.

Menghnidarkan diri dari nafsu serakah, karena ingin mendidik anak, terangkum dalam indahnya nyanyian, dihias penuh warna, agar dihayati intisari ilmu luhur, yang diterapkan di tanah Jawa/Nusantara, agama (adalah) pakaian kehidupan diri.

 

 Catatan Pengalihbahasa : pada versi lain, kalimat pertama ada yg berbuny"Mingkar-mingkuring UKARA"Bila demikian, maka terjemahannya menjad"Mengolah dan membolak-balik kalimat, karena ingin mendidik anak, ....dst)Melihat keterkaitannya dengan kalimat sesudahnya, nampaknya justru kata UKARA yang benar).

02

Jinejer ing Wedhatama, mrih tan kemba kembenganing pambudi, mangka nadyan tuwa pikun, yen tan mikani rasa, yekti sepi sepa lir sepah asamun, samasane pakumpulan, gonyak-ganyuk nglelingsemi.

Disusun dalam Wedatama, agar tak mengurangi pemahaman hati, padahal meski tua dan pikun/pelupa, bila tak menggunakan rasa, sungguh kosong dan hambar bak ampas buangan, kala dalam perjamuan, salah tingkah memalukan.

03

Nggugu karsane priyangga, nora nganggo peparah lamun angling, lumuh ingaran balilu, uger guru aleman, nanging janma ingkang wus waspadeng semu, sinamun samudana, sesadoning adu manis .

Menuruti kemauan sendiri, tanpa arah dalam bertuturkata, tak mau dikatakan bodoh, sibuk memburu pujian, namun manusia yang telah tahu gelagat, malah merendahkan diri, menanggapi semuanya dengan baik.

04

Si pengung nora nglegewa, sangsayarda denira cacariwis, ngandhar-andhar angendukur, kandhane nora kaprah, saya elok alangka longkangipun, si wasis waskitha ngalah, ngalingi marang sipingging.

Si Dungu tak menyadari, kian menjadi dalam membual, kian tinggi bicaranya, ucapannya tak terarah, kian menyombongkan diri, si bijak mengalah, menutupi ulah si Dungu.

05

Mangkono ilmu kang nyata, sanyatane mung we reseping ati,bungah ingaran cubluk, sukeng tyas yen den ina, nora kaya si punggung anggung gumunggung, ugungan sadina dina, aja mangkono wong urip.

Demikianlah ilmu yang benar, sejatinya hanya menyenangkan hati, suka dianggap bodoh, bergembira bila dihina, tak seperti Si Dungu yang mabuk pujian, ingin dikagumi tiap hari, jangan seperti itu manusia hidup.

06

Uripe sapisan rusak, nora mulur nalare ting saluwir, kadi ta guwa kang sirung,  sinerang ing maruta, gumarenggeng anggereng anggung gumrunggung, pindha padhane si mudha, prandene paksa kumaki.

Hidup sekali berantakan, nalarnya tak berkembang tercabik-cabik, seperti gua gelap yang angker, diterjang angin, bergemuruh bergema tanpa makna, seperti itulah anak muda kurang ilmu, namun sangat angkuh.

07

Kikisane mung sapala, palayune ngendelken yayah wibi, bangkit tur bangsaning luhur, lah iya ingkang rama, balik sira sarawungan bae durung, mring atining tata krama, nggon-anggon agama suci.

Tekadnya hanya kecil,  segalanya mengandalkan orang-tua, tak mau kalah dan selalu harus di atas, yang luhur karena (golongan) bangsawan, memang karena sang ayah, sedangkan enkau bergaul saja belum, terhadap intinya etika pergaulan, yang ada dalam agama suci.

08

Socaning jiwangganira, jer katara lamun pocapan pasthi, lumuh asor kudu unggul, sumengah sesongaran,yen mangkono kena ingaran katungkul, karem ing reh kaprawiran, nora enak iku kaki.

Sebenarnya kepribadianmu, pasti terlihat saat berbicara, harus unggul tak mau kalah, tinggi hati dan merendahkan, bila begitu bisa disebut terpikat, senang dalam hal kesombongan, tak bagus itu Nak.

09

Kekerane ngelmu karang, kakarangan saking bangsaning gaib, iku boreh paminipun, tan rumasuk ing jasad, amung aneng sajabaning daging kulup, Yen kapengkok pancabaya, ubayane mbalenjani.

Dalam ilmu sihir, rekaan dari hal-hal ghaib, itu ibarat bedak, tak merasuk ke badan, hanya di luar daging Nak, bila terbentur  marabahaya, tak dapat diandalkan.

10

Marma ing sabisa-bisa, babasane muriha tyas basuki, puruitaa kang patut, lan traping angganira, Ana uga angger ugering kaprabun, abon aboning panembah, kang kambah ing siang ratri.

Oleh karenanya sebisa mungkin, berusahalah agar hati tenteram, berguru secara bagus, dan laksanakan dalam dirimu, ada juga aturan dalam tata negara, yang jadi ketentuan (dalam) mengabdi, yang digunakan siang malam.

11

Iku kaki takokena, marang para sarjana kang martapi, mring tapaking tepa tulus, kawawa nahen hawa, Wruhanira mungguh sanyataning ngelmu, tan mesthi neng janma wreda, tuwin muda sudra kaki.

(Hal) itu tanyakan Nak, kepada para cerdik cendekia yang mendalami, dengan sungguh-sungguh, sekuat tenaga menahan diri, yang kau ketahui sejatinya ilmu, tak tentu dikuasai orang tua, atau muda serta miskin Nak.

 

12

Sapantuk wahyuning Allah, gya dumilah mangulah ngelmu bangkit, bangkit mikat reh mangukut, kukutaning Jiwangga, Yen mangkono kena sinebut wong sepuh, liring sepuh sepi hawa, awas roroning ngatunggil.

Orang yang mendapat anugerah Allah, lalu mengolah serta paham ilmu hidup, hidup benar dalam arti sesungguhnya,  kesempurnaan hidup pribadi, bila demikian dapat disebut orang bijak, yang tak dikuasai hawa nafsu, awas tentang dua hal berpasangan (baik-buruk, bahagia-sengsara).

13

Tan samar pamoring Sukma, sinukma ya winahya ing ngasepi, sinimpen telenging kalbu, Pambukaning warana, tarlen saking liyep layaping ngaluyup, pindha pesating supena, sumusuping rasa jati.

Sangat jelas tanda-tanda Allah, dirasakan pada saat sepi, disimpan dalam lubuk hati terdalam. Pembuka tabir itu, tak lain dari keadaan (diri) antara sadar dan tak sadar, bagai  melesatnya mimpi, hadirnya rasa yang sejati.

14

Sajatine kang mangkono, wus kakenan nugrahaning Hyang Widi, bali alaming ngasuwung, tan karem karamean, ingkang sipat wisesa winisesa wus, mulih mula mulanira, mulane wong anom sami.

Sebenarnya yang demikian itu, telah mendapat anugerah Tuhan, kembali ke alam 'kosong', tak tergoda duniawi, yang bersifat kuasa-menguasai sudah, kembali kepada asal muasal. Oleh karena itu (hai) para kawula muda.

ana candake....

(bersambung ke Bagian 2)

***Dikutip dari catataBapak Isyana Dewa di Catatan Facebooknya***